BAB I
PENDAHULUAN
Sumber
daya alam merupakan suatu kekayaan yang tiada nilainya bagi kehidupan manusia.
Kebutuhan manusia pada masa kini tidak hanya terbatas pada kebutuhan sandang,
pangan, dan papan. Kebutuhan akan kesehatan juga menjadi hal penting dalam
hidup manusia. Semua kebutuhan manusia tersebut disediakan oleh alam. Dengan
kata lain, manusia tergantung pada alam. Sementara alam itu sendiri terbentuk
dari susunan hubungan saling ketergantungan antara elemen satu dengan lainnya
yang sangat kompleks. Hubungan yang terjalin antar elemen adalah saling
mempengaruhi sehingga arus energi mengarah pada struktur makanan,
keanekaragaman biotik, dan daur material. Kehilangan atau ketidakseimbangan
salah satu elemen pada mata rantai arus energi tersebut sudah tentu akan
menyebabkan gangguan pada yang lain pada sistem tersebut.
Setiap
penghuni bumi sama-sama memiliki kepentingan untuk bertahan hidup.
Masing-masing negara dan bahkan kelompok komunitas masyarakat memiliki
cara-cara tersendiri untuk melindungi sumber daya yang mereka miliki. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa konsep keanekaragaman hayati merupakan hal yang
bersifat universal.
Sementara
dari perspektif budaya, konsep biodiversity tidak dapat lepas dari
faktor manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap keberlangsungan
keanekaragaman yang ada di muka bumi. UNESCO dan UNEP pada KTT Dunia mengenai
Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan di Johannesburg tahun 2002 menyatakan
bahwa pembangunan yang lestari memerlukan keanekaragaman budaya dan
keanekaragaman hayati sebagai komponen yang sama penting dan utama. Maksud dari
pernyataan tersebut adalah untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sekaligus
menghargai dan mengakui hak dan peran masyarakat lokal sebagai agen utama yang
menjaga dan membentuk keanekaragaman hayati.
UNESCO
menyatakan bahwa kita tidak akan bisa memahami dan mengkonservasi lingkungan
alam kita jika tidak memahami kebudayaan dari manusia yang ikut membentuk alam
tersebut. UNEP bahkan menyebutkan bahwa keanekaragaman budaya merupakan
pencerminan dari keanekaragaman hayati. Kedua pernyataan tersebut merupakan
pengakuan bahwa masing-masing budaya memiliki pengetahuan, praktik-praktik,
maupun representasi budaya lain dalam memanfaatkan dan menjaga kelestarian
lingkungan dan sumber daya alam. Hal-hal tersebut terefleksikan dalam
keseharian hidup dan tradisi lokal setempat yang sering disebut dengan kearifan
lokal.
Dalam
pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan
Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan
kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
I
Ketut Gobyah thiam “Berpijak pada Kearifan Lokal” mengatakan bahwa kearifan
lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam
suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman
Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kerifan
lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus
dijadikan pegangan hidup. Meskipun nilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.
Kearifan
tradisi yang terkandung pada masing-masing budaya memang bersifat lokal, namun
makna inti dari produk budaya tersebut memiliki benang merah yang sama, yaitu
konservasi keanekaragaman hayati sebagai suatu nilai yang bersifat univesal.
Bahasa dan pendekatan yang dipergunakan sangat mungkin berbeda, walaupun
demikian, tradisi maupun pengetahuan yang lokal yang disampaikan mempunyai
tujuan yang sama untuk melindungi lingkungan alam (Jopela, 2011; Garrett, 2007;
Byers, Cunliffe & Hudak, 2001).
Nilai-nilai
lingkungan yang tercermin dari praktek-praktek kearifan lokal meliputi
perlindungan, pemanfaatan secara lestari, dan pemeliharaan. Nilai tersebut
berhubungan secara langsung, saling terkait, dengan sistem kemasyarakatan dan
sosial suatu komunitas. Semua kegiatan diterapkan untuk dilaksanakan semua
anggota komunitas dan ditujukan untuk kepentingan dan kebaikan bersama.
Berbagai
contoh dari praktik-praktik masyarakat lokal yang menerapkan aktivitas
konservasi biodiversity dapat dijumpai di seluruh belahan dunia. Seperti
di negara Zimbabwe – Afrika Selatan, masyarakat yang tinggal di dekat hutan di
sepanjang aliran sungai Musengezi percaya bahwa hutan yang ada di dekat
pemukiman mereka adalah hutan keramat. Penduduk dilarang mengambil hasil hutan
tanpa meminta ijin melalui seorang “pawang yang merupakan medium dari roh-roh
yang tinggal di dalam hutan. Masyarakat setempat yakin bahwa roh leluhur mereka
tinggal dalam hutan. Roh-roh penduduk yang meninggal juga akan bergabung dengan
leluhur mereka di hutan dalam wujud satwa liar, misal: para kepala suku akan
mengambil wujud hewan singa.
Kearifan
lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati ini tidak saja dilakukan oleh
masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam yang ada di
darat. Masyarakat pesisir pun memiliki kebajikan setempat dalam menkonservasi
ekosistemnya. Sebagai contoh di negara Tanzania, penduduk pesisir memiliki
kepercayaan bahwa gugusan terumbu karang dijaga oleh roh-roh jahat sehingga
mereka tidak berani sembarangan menangkap ikan di area tersebut. Kepercayaan
ini tentu sangat membantu mengkonservasi habitat terbaik untuk pemijahan
biota-biota laut.
Suku
sasak juga memiliki beberapa kearifan lokal, khususnya yang terdapat di kawasan hutan adat Mandala, Lombok utara. Berfungsi untuk konservasi hutan dan pelestarian sumber
daya alam dan menjaga sumber mata air untuk kebutuhan manusia. Maka dalam kesempatan
ini kami akan membahas tentang kearifan lokal yang ada di kawasan hutan mandala, Lombok utara.
PEMBAHASAN
Masyarakat
adat suku sasak di Lombok memandang hutan pada dasarnya terbagi dalam dua
kawasan yakni pawang dan gawah. Pawang merupakan
kawasan hutan yang dikeramatkan dimana terdapat sekumpulan pepohonan besar yang
biasanya terdapat sumber mata air sehingga tidak dapat diganggu sama sekali.
Sedangkan kawasan gawah merupakan daerah dimana
terdapat pepohonan dan aneka satwa sebagai tempat berburu dapat dikelola dan
dipetik hasilnya secara lestari atas ijin dari Pemangku.
Dalam
kesederhanaan cara pandang tersebut terkandung kearifan terhadap kelestarian
lingkungan yang mendalam. Penggolongan suatu kawasan hutan sebagai pawang
merupakan mekanisme untuk melindungi dan melestarikan fungsi hutan
sebagai water catchment area (daerah tangkapan air) yang
termasuk sebagai kawasan yang dilindungi. Sedangkan Gawah merupakan kawasan
hutan yang menjadi salah satu sumber penghidupan yang dimanfaatkan dan diambil
hasilnya secukupnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan jauh dari niatan
eksploitasi untuk dijual ke pasar dan komoditisasi.
Data Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Lombok Utara (KLU), terdapat 36
lokasi hutan adat di KLU. Luas hutan adat itu 380,23 hektar. Dari seluruh hutan
adat ini, hampir semuanya memiliki mata air. Mata air yang tetap terjaga
kelestariannya.
Pawang
mandala merupakan salah satu hutan tutupan adat yang artinya dilindungi
secara adat dengan adanya Awiq-awiq. Hutan adat mandala ini terletak di kaki
gunung rinjani tepatnya di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara,
Nusa Tenggara Barat. Kata Mandala menurut beberapa tokoh adat setempat, berasal
dari dua suku kata Ma dan Bendala, Ma berarti Pemberian dan Bendala berarti
tempat menyimpan sesuatu (sejenis peti) jika digabung menjadi Mendala yang
berarti Pemberian dari Tuhan berupa suatu tempat menyimpan
debit air yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat disekitarnya.
Hutan adat
Mandala diyakini masyarakat Bayan sebagai tempat sakral, karena di salah satu
bagian terdapat Mesjid Bakeq atau mesjidnya para jin. Selain itu sumber mata
air yang ada di Mandala diyakini mempunyai hubungan langsung dengan air yang
berada di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani. Gunung Rinjani merupakan jatung
kehidupan masyarakat di Pulau Lombok, karena seperti diketahui, 90 % mata Air
yang berada di Pulau Lombok itu terdapat di hutan kawasan Gunung Rinjani. Jadi
air dari Gunung Rinjani ini menjadi sumber kehidupan di Pulau Lombok. Dengan
luas yang tidak terlalu besar yaitu 1359 m2, tetapi hutan adat
mandala memiliki banyak sumber mata air. Sumber mata air yang ada di
hutan adat ini, oleh masyarakat adat Bayan masih disakralkan, karena termasuk
salah satu sumber mata air dari sembilan mata air yang diyakini sebagai sumber
kehidupan bagi masyarakat suku sasak.
Keberadaan
Hutan Mandala kaya dengan nilai-nilai luhur budaya. Salah satunya
adalah konsep “Pemalik” yaitu ketika seseorang hendak masuk ke hutan secara
sembarangan. Larangan memasuki hutan Mendala secara sembarangan, yang bila
dilanggar akan mendapat musibah atau gangguan di kemudian hari. Dan apabila
hutan Mandala dirusak serta kayunya ditebang, maka perusak tersebut diwajibkan
membayar denda adat yang harus dipenuhi. Itu sebabnya mengapa Hutan Mandala
tetap bertahan dari masa ke masa dan memberikan air dan berbagai manfaat
lainnya menjadikannya pemberian Tuhan yang berharga dan memiliki arti bagi
kehidupan masyarakat Bayan.
Masyarakat
suku sasak di bayan punya cara unik dalam menjaga ketersediaan dan kelestarian
mata air dan hutan. Jika banyak daerah lain mengerahkan tenaga
pengaman dalam jumlah besar dari berbagai satuan, mulai dari pohut, polisi,
bahkan tentara, lain halnya dengan daerah ini. Di kawasan hutan adat Mandala,
terdapat lembaga adat untuk menjaga kelestarian hutan dan sumber air. Lembaga
adat yang terdiri dari Pemangku Adat yang bertugas sebagai pemimpin gundem
(musyawarah) adat, lalu ada Penghulu Adat, dan Pembekel Adat yang bertugas
memberikan pendapat, masukan, usulan pada Pemangku Adat terkait adanya
persoalan di dalam hutan adat itu. Sebagai salah satu produk “Undang-Undang”
dalam pengelolaan hutan adat ini, masyarakat adat Bayan telah membuat
Awiq-Awiq Hutan Adat Mandala. Soal keamanan hutan adat, ada Lang-Lang Jagad
yang bertugas seperti polisi kehutanan. Ada juga Inan Air, orang yang memimpin
saat selamatan mata air. Aturan-aturan dalam pengelolaan hutan adat itu memang
normatif, namun sanksi bagi pelanggaran itu justru yang menjadi paling berat.
Awiq-awiq adat yang kuat dalam menjaga dan melestarikan sumber mata air yang
ada, dan awiq-awiq (aturan adat) tersebut wajib ditaati oleh semua masyarakat
adat atau masyaarakat lainnya.
Ada lima isi
awiq-awiq yang dibuat antara lain :
1.
Dilarang mengambil / memetik, mencabut, menebang,
menangkap satwa dan membakar pohon/ kayu-kayu yang mati yang terdapat dalam
kawasan hutan adat.
2.
Dilarang menggembala ternak di sekitar pinggir dan di dalam
kawasan hutan adat yang dapat menyebabkan rusaknya flora dan fauna hutan.
3.
Dilarang mencemari / mengotori sumber-sumber mata air
didalam kawasan hutan adat.
4.
Dilarang melakukan meracuni Daerah Aliran Sungai (DAS)
menggunakan fottas, decis, setruman dan lain-lainnya, di sekitar dan di luar
kawasan hutan adat, yang dapat menyebabkan musnah / terbunuhnya biotik-biotik
yang hidup di sungai.
5.
Bagi setiap pemakai / pengguna air baik perorangan
maupun kelompok diwajibkan membayar iuran / sawinih kepada pengelola hutan adat
dan sumber mata air.
Untuk
menegakkan dan menjalankan awiq-awiq yang dibuat dengan konsep adat (hukum
adat) dan kearifan lokal ini, bagi yang melanggar semua atau salah satu dari
awiq-awiq itu, maka dikenankan sanksi yang wajib dipatuhi oleh siapapun yang
melanggar. Jika aturan tersebut dilanggar maka hukum adat akan bertindak dengan
cara pemangku dan masyarakat adat berkumpul berdasarkan laporan dari saksi.
Kemudian, pelaku dipanggil untuk dimintai keterangan. Jika seseorang terbukti
bersalah, masyarakat adat akan mengenakan sanksi yang pantas. Jika ada
seseorang yang meracuni hutan dengan berbagai bahan kimia hukumannya
adalah menyowok dan denda uang bolong sebanyak 1000 buah. Istilah menyowok
yaitu upacara ritual dengan memotong hewan ternak baik kerbau maupun kambing
sesuai dengan ringan beratnya pelanggaran dan dilengkapi dengan sajian
eteh-eteh yaitu beras, kelapa, bumbu-bumbuan dan dimasak dengan daging hewan
yang dipotong dengan sesaji berupa, sirih pinang, dan kapur sirih, pelanggarnya
diolesi darah hewan yang dipotong dicampur kelapa parut dan dioleskan didahi.
Hukuman
untuk orang yang menanam hutan dengan cengkeh dan kelapa hukumannya adalah
menyowok dan penebang tanaman yang telah ditanamnya. Jika seseorang berternak
di dalam hutan maka ternak dikeluarkan dari dalam hutan. Bagi yang
mengotori pawang hukumannya membersihkan hutan dari benda-benda yang mencemari
lingkungan. Untuk yang melakukan penggalian barang tambang maka dikenakan
hukuman berupa menyowok menampel dan denda uang bolong sebanyak 10000 buah dan
menghentikan penggalian. Jika sanksi tidak dipatuhi bagi si pelanggar adalah,
dikucilkan atau diasingkan dan tidak diakui sebagai masyarakat adat.
Keharmonisan
antara masyarakat adat dengan hutan membuat hutan dan mata air tetap lestari.
Berkat terjaganya hutan adat mandala, melalui mata air yang ada di hutan
masyarakat dapat mengairi 112 Ha sawahnya dan menjadi sumber air bersih di
bayan dan 3 desa lainnya. Indahnya hutan yang berada di kaki gunung rinjani ini
menjadikan hutan adat mandala dijadikan tujuan wisatawan local maupun
internasional. Bukan hanya pesona hutan serta kesegaran mata airnya menjadikan
tempat ini wajib dikunjungi wisatawan, hutan ini juga dijadikan hutan wisata
edukasi dengan menyuguhkan tradisi-tradisi masyarakat bayan yang tetap
terelihara hingga sekarang. Wujud syukur masyarakat terhadap kelestarian
hutan dan melimpahnya ketersediaan air yang ada di hutan mandala, pada setiap tahunnya
diadakan selamatan Mata Air atau Roah Pengembulan dihadiri oleh seluruh
petani pemakai air dan secara sukarela mereka membawa masing-masing seekor ayam
dan bahkan kerbaupun kadang di bawa untuk disemblih di mata air dan sebagai
hidangan untuk dinikmati bersama-sama sampai acara selamatan itu ditutup oleh
kiayi dengan doa-doa sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT.
Konsep pelestarian hutan dan mata
air di hutan adat mandala berlandaskan kearifan lokal masyarakan suku sasak
bayan menjadikan hutan dan mata air tetap terjaga hingga saat ini. Kelestarian
yang tetap terjaga selama tradisi – tradisi di masyarakat tetap terpelihara.
Kearifan lokal masyarakat adat di bayan dalam menjaga hutan dan mata air,
menjadikan Mata air Mandala, Pemenang I Lomba Perlindungan Mata Air (Permata)
tingkat Nasional pada tahun 2012. Pengelolaan
Hutan Adat Mandala merupakan wujud hubungan suku sasak bayan dengan
lingkungannya, yang menghargai dan menjaga keberadaannya sehingga memberi
manfaat yang besar bagi Masyarakat Bayan.
Sumber :
Utama, I.M.S. & N. Kohdrata. 2011. Modul Pembelajaran Konservasi Keanekaragaman
Hayati dengan Kearifan Lokal. TPC Project, Udayana University – Texas A & M University.
http://fariz-rifai.blogspot.com/2014/12/kearifan-lokal-suku-sasak-dalam-menjaga.html